Prabowo Bakal Dihadang Hal Menyeramkan Ini Tahun Depan, Awas!

Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto dan Ketua DPR RI, Puan Maharani berjalan meniggalkan gedung Nusantara di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto dan Ketua DPR RI, Puan Maharani berjalan meniggalkan gedung Nusantara di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Tren suku bunga kebijakan bank sentral akan masih tinggi dalam jangka waktu lama. Dipicu oleh Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang berpotensi tak akan menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat, meski beberapa indikator ekonomi di AS mulai menunjukkan pelemahan yang akut.

Ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan, Chatib Basri mengatakan, bila mengukur pada indikator meroketnya angka pengangguran di AS yang naik menjadi 4,3% per Juli, dan tingkat inflasi di AS yang sudah di bawah 3% atau tepatnya 2,9% The Fed memang memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate.

Beberapa indikator inilah yang akhirnya diterjemahkan pelaku pasar keuangan bahwa The Fed berpotensi menurunkan suku bunga acuannya lebih cepat mulai September 2024 dari yang saat ini masih bertengger di level tinggi 5,25%-5,50%. Membuat bank sentral negara lain, seperti BI juga akan mulai mengikuti penurunan tren kebijakan suku bunga acuan yang ketat.

“Inilah yang bisa kita pahami kenapa pelaku pasar keuangan banyak yang berekspektasi the Fed akan mulai memangkas suku bunga acuannya pada September mendatang,” kata Chatib Basri dalam forum ISEAS Yusof Ishak Institute, Selasa (20/8/2024).

Namun, Chatib mengatakan, dalam menerjemahkan cara pandangn The Fed terhadap kondisi perekonomian AS, ada satu faktor yang seharusnya tak boleh luput, yakni faktor ekonomi politik yang mempengaruhi sudut pandang Dewan Gubernur The Fed di bawah kepemimpinan Jerome Powell. Faktor ini pun katanya sudah pernah dibicarakan seorang ekonom berpengaruh di AS, yakni Carmen Reinhart.

Chatib bercerita, saat bertemu Reinhart di Universitas Harvard pada April lalu, ia menitik beratkan fokus The Fed terhadap sudut pandang ekonomi politik ini terkait dengan tingginya potensi kebijakan pelebaran defisit APBN para kontestan Pilpres AS 2024, baik itu Kamala Harris maupun Donald Trump.

Pelebaran defisit ini akan membuat pemerintah AS ke depan masih akan dominan untuk melakukan penarikan utang melalui penerbitan surat utang yang semakin banyak. Otomatis, Bank Sentral AS menurutnya akan semakin sempit memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuannya ke depan untuk menjaga daya tarik imbal hasil US Treasury Bond ke depan.

“Jadi concern utamanya adalah tidak mudah bagi Jerome Powell untuk memangkas suku bunga acuannya sebelum Pilpres 2024 berakhir,” kata Chatib Basri.

Oleh sebab itu, Chatib menekankan, bank sentral negara lain seperti BI tentu tak akan serta merta bisa memangkas suku bunga acuannya ke depan, jika mempertimbangkan the Fed baru akan memangkas suku bunga acuannya pada Desember mendatang. Sebab, BI juga harus menjaga selisih atau gap suku bunganya untuk menjaga daya tarik imbal hasil surat berharga negara (SBN) pemerintah Indonesia di atas yield US Treasury Bond, meskipun inflasi rendah di Indonesia, dan menjaga stabilitas kurs rupiah terhadap dolar AS.

Sudut pandang Chatib ini pun sebetulnya juga sesuai dengan perkiraan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Komite yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati itu meyakini penurunan suku bunga acuan AS (Federal Fund Rate/FFR) yang lebih cepat dari ekspektasi pasar tidak akan menurunkan yield US Treasury (UST).

“Dengan kondisi tersebut juga surat berharga negara AS atau yang sering disebut US Treasury yang memiliki maturitas atau jatuh tempo 10 tahun yaitu UST 10 years yieldnya atau suku bunganya diperkirakan masih tetap tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers KSSK, Jumat (2/8/2024).

Hal ini, menurut Sri Mulyani disebabkan oleh defisit anggaran atau fiskal AS yang besar dan defisit ini tentunya memerlukan pembiayaan besar. “Jadi meski harapan FFR mulai turun tapi ekspektasi ke UST yield masih relatif stabil tinggi karena di AS defisit dari anggaran pemerintah AS yang besar yang membutuhkan pembiayaan besar,” ujar Sri Mulyani.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan UST notes memang dipengaruhi gerak Fed Fund Rate, sementara UST bond atau surat utang AS jangka panjang dipengaruhi jumlah utang.

“Ini kenapa UST notes lebih tinggi daripada bond. UST notes 2,47% UST bond 6,44%. Jadi yang jangka pendek ga turun-turun 30 bps lebih tinggi daripada UST bond yang 10 tahun. Ini kenapa Q1 dan Q2 ada keluar SBN,” tegas Perry.

kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*