Industri kecil dan menengah (IKM) bakal menghadapi tekanan berat akibat lesunya daya beli masyarakat. Kondisi ini diperberat adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 nanti. Ditambah, potensi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, serta iuran BPJS Kesehatan.
Ada kekhawatiran makin banyak IKM yang lesu dan akhirnya tutup.
“Pasti iya (khawatir banyak tutup). Tapi kita harus mengedukasi supaya terus (beroperasi) juga,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita saat acara Pemberian dan Penghargaan Asta Kriya Nusantara di kantor Kemenperin, Selasa (20/6/2024).
Meski demikian, ada kecenderungan sektor ini bisa bertahan di situasi sulit, misalnya pada saat krisis moneter tahun 1998 serta Pandemi Covid lalu.
“Kami melihatnya pelaku IKM gampang banget yang beradaptasi. Ketika situasi seperti sulit bisa switch, yang paling bertahan IKM, waktu fashion lesu bisa buat masker, APD (alat pelindung diri),” kata Reni.
Namun para IKM ini perlu memerhatikan sejumlah faktor agar tetap bisa bertahan di situasi sulit, utamanya dari manajemen internal atau dalam hal pengelolaan.
“Ke depannya harapan kita IKM ketika membuka bisnisnya bisa menyisihkan untuk membeli bahan baku. Jangan sampai begitu ada order baru beli bahan baku, itu kalau ada order. Ke depan untuk mendidik keuangan, bisnis, administrasi tujuannya supaya IKM jangan tertatih-tatih dulu,” ujar Reni.
Kemenperin pun tengah berupaya agar para IKM bisa bertahan. Diantaranya melalui pembangunan material center, diantaranya pengadaan bahan baku bagi pelaku IKM Majalengka dan sekitarnya (Karawang, Cikarang, Bekasi).
“Siasat kami membangun material center supaya ada penjaminan bahan baku. Makanya perlu pembinaan IKM melalui sentra, karena di sentra ada yang kelola, bahan baku ada kepastian, setelah menghasilkan bisa dijual di sentra itu juga, bahkan beberapa provinsi beli di toko sehingga IKM ada uang cukup terus, dididik untuk punya tabungan,” sebut Reni.