Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% diprediksi akan menghantam daya beli masyarakat. Masyarakat kelas menengah diprediksi akan menjadi kelompok yang paling terdampak.
“Kelas menengah itu agak beda dengan kelas miskin, karena kelas miskin itu sudah dapat bantuan sosial, subsidi, program keluarga harapan dan sebagainya,” kata ekonom senior Anny Ratnawati dalam program Tax Time di CNBC Indonesia, Senin, (25/11/2024).
Anny menuturkan ketika kelas miskin mendapatkan banyak pertolongan pemerintah, kelas menengah di Indonesia tak mendapatkan insentif apapun. Dia bilang insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sektor perumahan yang selama ini diklaim pemerintah sebagai program yang menyasar kelas menengah adalah kekeliruan.
“Pertanyaannya adalah kelas menengah ini kan sekarang sebagian kena PHK, sebagian tidak bekerja. Mereka butuh lapangan kerja. Kemudian kalau diberikan insentif perumahan, muncul pertanyaan bagaimana mereka bisa membayar kredit sementara pekerjaan saja tidak punya,” ujar mantan Wakil menteri Keuangan ini.
Sementara itu, Anny mengatakan keberadaan kelas menengah amat penting bagi perekonomian Indonesia. Dia bilang kelas menengah berkontribusi 70% pada tingkat konsumsi rumah tangga di Indonesia. Sebagaimana diketahui, konsumsi rumah tangga merupakan sektor penyumbang terbesar terhadap perekonomian Indonesia yang mencapai lebih dari 50%.
Dia mengatakan kenaikan PPN 12% akan berdampak langsung pada kenaikan harga-harga yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan daya beli ke kelas menengah. Ketika daya beli kelas menengah terancam, maka target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah tidak akan tercapai.
“Jadi terbayang oleh kita, kelas menengah di dalam porsi konsumsi itu memainkan peran penting,” ujar dia.
Sebagaimana diketahui, rencana pemerintah menaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 mendapatkan penolakan luas dari masyarakat. Di media sosial, sempat viral kampanye dengan gambar garuda biru atau peringatan darurat menolak kenaikan PPN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat dengan Komisi XI DPR menyebut penerapan PPN 12% pada 2025 sudah melalui pembahasan yang panjang. Dia mengklaim semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. “Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, berdasarkan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI dalam Seri Analisis Makro Ekonomi Indonesia Economic Outlook 2025 disebutkan bahwa PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi.
“Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.
Dalam kajian LPEM FEB UI, Teuku menyebutkan beban saat tarif PPN masih sebesar 10% pada periode 2020-2021, rumah tangga kaya atau 20% terkaya menanggung 5,10% dari pengeluaran, sementara rumah tangga miskin atau 20% masyarakat termiskin menanggung 4,15% dari pengeluarannya.
Setelah kenaikan tarif PPN 11% di 2022-2023, rumah tangga kaya memikul 5,64% dari pengeluaran untuk PPN. Sedangkan rumah tangga miskin hanya 4,79% dari pengeluarannya.